Sebuah Harapan Dari Pinggir Hutan
Ketika anak-anak SAD menyanyikan lagu ‘Bintang kecil’
Dibalik
hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bersama riuh rentaknya aktivitas
manusia di Kota Muara Tebo, tidak berapa jauh namun cukup melelahkan
dibalik desa Muara Kilis tinggal sekumpulan manusia yang senantiasa
nyaman dengan ketenangan, senantiasa menyatu dengan alam. Mereka adalah
merupakan suku anak dalam (SAD). Bagaimana kisah mereka? Apakah yang
mereka lakukan?
PelitaKita, mimpi sekelompok pemuda dewasa yang mengharu biru sehingga menjadi mimpi sikecil dungu yang haus ilmu |
Pada suatu waktu
akhir pekan yang membosankan, mingkin itulah kata-kata yang terjuluk
diujung lidah bagi para penghuni Kota Muara Tebo. wajar saja, selain
sepi di kota kecil inipun sulit untuk menemukan tempat yang nayaman
untuk berlibur. Namun dibalik kebosanan itu seraya pandangan terlempar
kepada beberapa pemuda yang masih terlihat kontras semangat
menggebu-gebu saling berbagi cerita dibawah sesumbaran senyum terik
matahari.
Kali
ini berbeda, ketika biasanya mereka (Sebut saja Oktaviandi dan
kawan-kawan,red) tidak lekang dari pembicaraan mengenai seputar
kemajuan Kabupaten Tebo, atau tentang suara-suara keadilan. Justru
diakhir pekan ini topik yang diceritakan ialah merupakan suatu
perjalanan yang nyaris hilang ditelan deru-deru mesin, dimana ketika
anak-anak SAD menyanyikan lagu bintang kecil.
Sambil
menyicipi sesuguhan tembakau yang bermerek samporena, Oktaviandi
memulai ceritanya. Dimana pada suatu waktu. “sore itu cerah namun tidak
seperti halnya dengan beberapa anak yang keluar dari sela-sela semak
dipinggir sungai kecil didaerah sungai Innuman Muara Kilis, merka adalah
Gabok, upadan, tampung, dan Suni. Mereka duduk dujembatan yang dibuat
untuk mrmudahkan para pembalak liar dalam membawa kayu meraka ke Saki
Mili,” ujarnya perlahan menahan tapi pasti.
Disambungnya
cerita fakta itu dengan yakin, rupanya dulu ditempat itu orang tua
mreka bergantung hidup dalam memenuhi kebutuhan mencari makan. Yah,
mereka dulu tidak mengenal uang, mereka hanya hidup dengan sangat
sederhana yang cuma memiliki tombak, parang, dan kain panjang sebagai
harta kekayaan dan alat untuk survival didalam hutan yang
merupakan habitad mereka. Dulu meraka gembira, makanan untuk kebutuha
mereka selalu terpenuhi walau tidak memiliki rumah karena mereka selalu
hidup berpindah-pindah nomaden.
“Kami
berusaha mendekati dan bisa komunikasi dengan mereka. Kami berusaha
dengan sedikit kurang percaya diri karena karakter mereka begitu pemalu.
Dengan usaha yang kami lakukan akhirnya berhasil mengajak mereka
ngobrol, saat itu mereke pulang dari mencari Labi-Labi untuk dijualnya,”
ujarnya.
Namun
labi-labi yang dicari kini sudah sulit ditemukan, bahkan habitatnya
sekarang mulai langka. Saat itu dalam kebisuan teman saya bertanya pada
Gabok yang kebetulan paling besar dibandingkan dengan temannya yang lain
“dimano ado labi?” dengan pandangan yang layu gabok menjawab “dulu
disiko banyak tapi lah abih” walu diskusi kami sangat kaku karna kami
memang baru memesuki daerah itu, tempat itu sekitar 25 KM dari Desa
Muaro Kilis Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo. Lokasi perumahan yang
baru diresmikan oleh Deputi KEMENSOS ini memang diperuntukkan bagi KAT,
lokasinya berada di tengah perkebunan milik perusahaan yang menanam
karet dan sawit, tidak lagi hutan belantara seperti dulu, semuanya
sangat jauh berubah. Tidak adalagi pohon-pohon besar, binatang buruan,
wilayah kekuasaan kini telah berganti dengan hamparan perkebunan orang
yang bermodal besar.
Sambil
menghela nafas, Andi mencoba meneruskan ceritanya. “Tenyata berawal
dari diskusi tesebut , kami menjadi semakin tertarik untuk dekat dengan
mereka, ternyata mereka itu lugu, sederhana, dan begitu polos. Mereka
hanya tau untuk berusaha keras mencari makan demi bertahan hidup. Merek
tidak pernah sekolah apalagi belajar seperti anak-anak Desa pada
umumnya. Mereka tidak bisa membaca menulis apalagi mengajai. Bahkan yang
lebih mengejutkan lagi mereka tidak mengenal Negara Indonesia. Ironis
memang semenjak 66 tahun Indonesia merdeka masih ada permasalahan.
Mereka selalu membantu orang tua mereka dan berpisah jika telah dianggap
dewasa,” ujarnya melemah.
Dikatakannya
lagi, Laju deportasi hutan dan lahan yang tidak mungkin terbendung
membuat lahan mereka semakin hilang, tentunya berdampak pada semakin
sulitnya mereka mendapat kan kebutuhan hidup sehari-hari, perambahan
besar-besaran oleh perusahaan perkebunan, perusahaan Tambang dan
kebutuhan masyarakat akan lahan untuk berkebun yang tidak bisa dibendung
tersebut memaksa mereka untuk hidup berdampingan dengan masyarakat pada
umumnya, namun perubahan yang begitu drastis membuat mereka sulit untuk
menyesuaikan diri, karena mereka kurang bisa beradaptasi dalam
kehidupan moderen. Kondisi ini tentu saja semakin memojokkan posisi
SAD, jika tidak ada pihak yang peduli dan serius untuk mencari jalan
keluar bagi mereka, maka mereka akan selalu termarjinalkan.
“Memang
ada bantuan perumahan sebanyak 50 unit untuk 50 KK, dengan jumlah 503
Jiwa dari Dinas Sosial untuk perubahan pola hidup mereka yang nomaden,
namun tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi mereka sehingga
rumah-rumah itu sering ditinggalkan oleh penghuninya untuk mencari
kebutuhan keidupan sehari-hari ditambah dengan tidak adanya pendidikan
untuk merangsang dan merubah pola pikir mereka sebgai solusi agar
mereka bisa hidup secara norma seperti masyarakat pada umumnya, tanpa
meniggalkan budaya sebagai kekayaan nusantara. Kemudian kami menilai
kurangnya perhatian pemerintah untuk SAD sendiri membuat mereka semakin
terpojok , bahkan sebagian dari mereka ada yang menjadi pengemis untuk
memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Andi yang tidak bosan mendatangi para
anak SAD itu setiap kalinya.
Diakui
mereka, setelah beberapa mempelajari kebiasaan mereka, akhirnya
Oktaviandi bersama rekannya memberanikan diri memulai perogram dalam
mendampingi mereka, mulai dengan mengumpulkan anak-anak usia sekolah
dengan bantuan dari ketua kelompok mereka dan pendamping Dinas Sosial
untuk bisa beradaptasi dengan kebudayaan mereka. Dimana pada saat itu
tidak terlupakan oleh pemuda Kota kecil ini, dimana terlihat begitu
jelas dalam ingatan mereka ketika memberikan Baju Seragam Sekolah dan
seperangkat alat tulis. Tidak tertutupi oleh arasa senang, namun begitu
jelas raut wajah mereka yang terlihat adalah bingung dengan hal yang
baru mereka temui yaitu “Belajar”.
Mereka
memang butuh itu, disutu sisi mereka juga butuh orang untuk membeli
kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka begitu serius mendengar perkenalan
dari kami, dengan tubuh yang dekil mereka sangat serius dalam menyimak
kata perkata yang kami ucapkan, walaupun meraka masih malu–malu tetapi
ada terbesit harapan dan cita-cita hinggap ditubuh mereka.
“Lagu
Bintang Kecil yang pertama kami ajarkan pada mereka ternyata merupakan
sebuah impian yang harus mereka wujudkan, meski sulit. Dan tentunya
mereka juga punya impian layaknya anak-anak seusia mereka, mreka juga
punya masa depan, masa depan yang entah berpihak pada mereka ataupun
tidak berpihak pada mereka. Tapi, saya percaya lahirnya PELITA KITA
merupakan harapan besar bagi mereka dalam sebuah ikhtiar menjadikan
hidup mereka lebih baik. Sangat jelas ingatan saya ketika Firdaus
mengajak mereka menyanyikan bintang kecil nampak gairah keceriaan
diwajah mereka dengan pendidikan sekolah alam yang mereka dapat. Sempat
hati kami geli ketika selesai menyanyikan lagu bintang kecil Firdaus
bertanya dari salah satu mereka “Suni dimano Bintang” Suni lalu menjawab
“di Kiun “ (disana) sambil menunjuk keatas langit, betapa sedihnya kami
mendengar jawaban dari Suni yang bagi kami merupakan betapa jauhnya
mereka untuk menggapai mimpi. Padahal sangat jelas sekali termaktub
dalam UUD 1945 Pasal 32 yang berbunyi “pakir miskin dan rakyat terlantar
dipelihara oleh Negara. Namun jangankan mendapat perhatian Negara
bahkan mereka tidak mengenal Indonesia sebagai negara mereka,” ujar Andi
sambil menarik nafas.
Sesekali
rokok diantara jari telunjuk dan jari tengahnya itu disodorkan ke
mulut, seketika itu juga asap tebal mengepul, seiring kata-kata yang
menganulir dari lidahnya. “Disini Saya sangat berharap Pelita Kita
sebagi wadah untuk mencapai perubahan yang lebih baik dan dapat
memberikan sebuah solusi dengan mengajak seluruh Stakeholder dan seluruh
pihak yang terkait untuk peduli akan nasib SAD bekerja sama untuk
mewujudkan impian Suni dan kawan-kawan setinggi Bintang dilangit, serta
membawa mereka menuju kehidupan yang berkeadaban,” ujarnya.
Melihat
begitu pedarnya kisah mereka yang terbungkus dibalik kemelut haru
birunya semangat manusia modern menggali kekayaaan alam, serta merta
derasnya laju mesin mesin yang sempat menyamarkan ngengiang suara-suara
para anak SAD tersebut. Namun walau begitu pekatnya cerita dan cepatnya
gegaduh hiruk pikuk itu, sesumbar suara mereka tetap terdengar menusuk
hati walau nyaris hilang, agak aneh, tapi sungguh sesuatu sekali dan
membuat jiwa terharu…-Bintang kecil,
di langit yang tinggi, Amat banyak, menghias angkasa, Aku ingin,
terbang dan menarijauh tinggi ke tempat kau berada,- selintas suara itupun menhilang dibalik gemerisik pepohonan yang berguguran.
“Saya
berharap semua kawan-kawan Pelita Kita tetap semangat, dan tetap teguh
untuk berusaha memberikan impian mereka, dan kami juga seluruh
Stakholder dan seluruh pihak yang terkait untuk peduli akan nasib SAD.
Sehingga mimpi mereka tak lagi hanya sebatas nyanyian lagu bintang kecil
yang tak kunjung mereka jumpai, tapi justru menjadi mimpi mimpi yang
nyata di hari esok, dimana mereka mendapatkan impiannya dengan nyata
dalam menggapai kehidupan yang berkeadaban,”pungkasnya.(*)
0 Response to "SAD Tebo"
Posting Komentar